#NGOBSERVASI : Polemik Poadcast Deddy Corbuzier Hingga Tanggapan Aktivis Kelompok Minoritas

HIBURAN, NASIONAL355 DIBACA

Baru-baru ini media sosial dan halaman media massa dihiasi polemik perihal isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).

Bermula youtuber Deddy Corbuzier mengunggah rekaman video podcast yang mengundang narasumber pasangan gay di kanal Youtube miliknya.

Video itu menimbulkan kegaduhan dan menuai respons dari banyak pihak, termasuk dari MUI hingga DPR yang keberatan dengan tayangan tersebut.

Berdasarkan pantauan Baladekanews, Pada (13/5) #LGBT manjadi trending topik di twitter sebanyak 61,2k tweet.

Deddy Corbuzier juga mendapat kecaman dan kritikan dari banyak netizen terkait konten ini. Bahkan, netizen ramai-ramai membuat aksi untuk berhenti mengikuti konten dari Deddy Corbuzier. Dengan tagar #unsubscribePodcastCorbuzier.

Berbilang hari sejak video yang diunggahnya menjadi polemik, Deddy lantas meminta maaf kepada publik dan mencabut alias takedown rekaman podcast dengan narsum gay tersebut dari kanal Youtubenya.

Meskipun begitu, pembicaraan seputar isu LGBT tidak lantas berhenti. Menko Polhukam Mahfud MD ikut bersuara terkait isu tersebut lewat akun media sosialnya.

Mantan hakim konstitusi itu mengatakan saat ini tidak ada payung hukum yang melarang LGBT. Ia menjelaskan berdasarkan asas legalitas seseorang dapat dijerat sanksi hukum jika sudah ada produk hukumnya. Jika belum ada produk hukum, maka hanya sekadar sanksi otonom atau sanksi moral.

Ia mengklaim sudah mendorong DPR untuk membuat payung hukum yang melarang praktik LGBT.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani menyatakan delik praktik LGBT serta zina sudah masuk dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil pembahasan di DPR periode 2014-2024.

“Soal delik zina dan perilaku cabul LGBT itu sudah masuk dalam RKUHP hasil pembahasan pemerintah dan DPR periode lalu. Jadi, enggak perlu didorong-dorong lagi karena memang sudah dibahas dan disepakati,” kata Arsul saat dihubungi, Rabu (11/5).

Lantas, bagaimana urgensinya memasukkan perihal LGBT ke dalam kitab undang-undang hukum pidana tersebut?

Dilansir dari cnnindonesia.com Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Johanna Poerba mengatakan berdasarkan draf RKUHP yang ia pegang per September 2019, perbuatan cabul sesama jenis termuat dalam Pasal 420 (1).

Pasal di dalam draf yang ia pegang itu berbunyi: “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.”

Sementara jika perbuatan cabul itu dilakukan secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, ancaman pidananya adalah penjara maksimal sembilan tahun. Begitu juga ancaman pidana penjara sembilan tahun untuk tindakan cabul yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi.

Johanna menilai penentuan unsur pidana pencabulan tidak perlu penegasan mengenai jenis kelamin. Ia mengatakan pasal pencabulan bertujuan untuk memidanakan perbuatan cabul tanpa konsen atau persetujuan. Oleh sebab itu, menurut dia, pasal tersebut seharusnya menyasar kepada siapa saja dan jenis kelamin apa saja.

“Seharusnya unsur terhadap orang lain yang berbeda atau sesama jenis kelaminnya menurut kami tidak perlu dicantumkan di dalam pasal pencabulan ini,” ujar Johanna, Kamis (12/5).

“Mengatur tindak pidana pencabulan ini cukup secara umum saja tidak perlu menentukan jenis kelaminnya, dan perlu diatur lebih spesifik tentang anak,” sambungnya.

Pihaknya mengkhawatirkan dengan dimasukkannya delik praktik LGBT ke dalam RKUHP nantinya bisa meningkatkan diskriminasi, kriminalisasi, dan persekusi terhadap kaum minoritas tersebut.

Menanggapi polemik yang terjadi dan kabar terbaru soal LGBT di dalam RKUHP, aktivis pendukung kelompok minoritas seksual dan gender meminta kepada pemerintah hingga parlemen sebagai pembuat kebijakan di negara ini untuk menjauhi ruang privat warga negara.

“Saya cuma minta tolong baik bapak Mahfud MD, baik itu bapak Arsul Sani, atau siapapun pembuat kebijakan atau pemegang kuasa saat ini, tolong jauhi ranah privat warga negara, itu aja. Jangan sampai yang kemarin yang tidak menjadi masalah akhirnya menjadi masalah,” ujar Staf Respon Krisis dari Crisis Respond Mechanism (CRM) Riska Carolina.

“Kan ruang privat warga negara bukanlah sesuatu hal yang namanya victimless crime atau kejahatan tanpa korban,” imbuhnya.

Perlu di ketahui bahwa CRM merupakan konsorsium yang fokus pada mobilisasi sumber daya untuk pencegahan dan penanganan krisis terhadap kelompok minoritas seksual dan gender.

News Feed